Minggu, 10 Mei 2020

Beragama Di Indonesia

Judul                          : “Moderasi Beragama: Dari Indonesia Untuk Dunia”
Penulis                       : Babun Suharto, et all
Penerbit                     : LKiS
Tahun                         : 2019
Jumlah halaman        : 410 halaman
Peresensi                   : Afidatul Asmar, S.Sos., M.Sos.
Pendahuluan
Sebagai sesuatu kekuatan berabad-abad lamanya agama menjadi doktrin yang kuat, sebagaimana prodak moderasi beragama yang akhir-akhir ini buming dan aktif di dengung-dengungkan, di laksanakan bahkan menjadi bahasa sehari-hari semua kalangan. Adanya gerakan yang kuat dari radikalisme yang kerap di kaitkan tentang Islam, sehingga mendorong sejumlah tokoh, lembaga, negara, bahkan dunia merespon dan memerankan secara aktif terkait moderasi beragama.

Didalam buku terbaru yang merupakan kumpulan pandangan dan pendapat Rektor Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri dibawah naungan Kementrian Agama yakni, Moderasi Beragama, Dari Indonesia Untuk Dunia. Persoalannya untuk mendefenisikan dan mengidentifikasi sesuatu yang berada 'ditengah' tidaklah mudah. Menjelaskan, memberikan pengertian, bahkan menjadikannya sebagai kegiatan yang konsisten didalam melihat berbagai persoalan ini. Oleh karenanya didalam membaca buku ini menjadikan satu pandangan objektif tidaklah mudah. Dikarenakan berbagai opini dari kepala yang berbeda sejatinya akan mempengaruhi hasil dari perenungan setiap tulisan rektor ini. Belum lagi dengan maraknya persoalan keagamaan, banyak yang mengklaim dirinya sebagai kelompok, golongan, bahkan individu yang moderat. Sehingga dalam buku ini berupaya merumuskan alternatif yang bersifat dalam pandangan agama jami (sintesis) dan mani’ (defenitif) tentang apa itu moerasi beragama.

Dalam pemahaman agama Islam sendiri moderat adalah realitas yang tidak terbantahkan. Realitas tersebut dapat kita temukan diberbagai sumber teks suci, baik Al-Qur’an (Q.S Al-Baqarah: 143) maupun hadits Nabi. Nabi, misalnya menyatakan “sebaik-baik persoalan adalah yang tengah-tengah” (khayr al-umur awasatuha). Inilah yang menjadi awal dari berbagai bentuk ekstremitas yang ada pada saat diturunkannya agama ini: ada Yahudi yang terlalu rigid dalam aspek eksoterik keagamaan, disatu sisi Nasrani yang terlalu “longgar” atau esoteris dalam aspek-aspek yang sama, di sisi lain. Di tengah-tengah dua kutub tradisi keagamaan semacam inilah Islam diturunkan ke muka bumi.
Bagian Pendahuluan dan Kata Sambutan
Dalam buku ini Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, MA. menegaskan ada dua alasan besar paradigma moderasi beragama di Indonesia penting untuk dibangun, Pertama, menempatkan agama pada fungsi semestinya. Agama diturunkan oleh Sang Khalik untuk kesejahteraan dan kedamaian manusia ( hudanlinnas). Yang butuh terhadap agama adalah manusia, bukan Tuhan. Oleh karenanya, bagaimana agama itu dapat difahami dan memberikan manfaat bagi manusia menjadi keniscayaan. Agama harus dapat dijelaskan dengan “bahasa kemanusiaan” dan memberikan efek terhadap peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan, bukan menjadi justifikasi pelanggaran terhadap hak-hak kemanusiaan. Kedua, memahami agama dan sikap beragama yang selaras dengan nilai kebangsaan berdasarkan ideologi Pancaila. Agama dan Pancasila memiliki relasi yang sangat penting dan saling mengisi, bukan difahami sebagai ideologi yang saling bertentangan dan membedakan. Menjungjung tinggi keindonesiaan berdasarkan pancasila sebagai perwujudan dari sikap keislaman merupakan kata kunci dari moderasi beragama.

Sejalan dengan Rapat Kerja Nasional (RAKORNAS) Kementrian Agama Tahun 2019 yang menghasilkan kesepakatan untuk menjadikan visi Moderasi Beragama sebagai mantra dan kata kunci yang menjiwai seluruh satuan kerja Kementrian Agama, termasuk di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan. Yang kemudian dalam pandangan Ketua Forum Pimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) “kita menyadari bersama bahwa tangtangan dunia pendidikan semkin kompleks, ditandai dengan kelompok keagamaan ekslusif yang tengah menyusup di lingkungan kampus, termasuk diperguruan tinggi keagamaan. Para pimpinan perguruan tinggi tidak boleh abai akan kondisi yang semakin hari semakin mengancam”. Sehingga dengan terbitnya buku ini menjadikan adanya kegelisahan pimpinan perguruan tinggi sekaligus bentuk tanggung jawab ilmiah untuk memberikan prespektif yang dapat digunakan sebagai langkah awal dalam implementasi moderasi beragama di lingkungan perguruan tinggi keagamaan secara khusus, dan dalam aktifitas kita secara umum.

Dengan mewakilkan kampus masing-masing di berbagai daerah Indonesia, buku ini menjadi bagian rujukan agama, perguruan tinggi, bahkan kemajuan dunia berfikir terkait moderasi beragama. Hal ini dapat kita ukur melalui 20 tulisan-tulisan pemimpin perguruan tinggi Islam yang berada di Indonesia. Tentunya dari setiap pimpinan berusaha membangun langkah dan strategi didalam menyikapi moderasi agama secara umum terkhusus bukti kongkrit yang dibangun pada kampus-kampus yang menjadi tempat mengabdi. Sehingga tidak ada bagian-bagian khusus dalam membagi buku ini. Yang akan kita temui pada resensi ini adalah khasan, ciri serta strategi setiap pemimpin yang dirangkum menjadi poin didalam pengambilan keputusan serta ukuran didalam membumingkan moderasi beragama.

Bagian Isi Buku  / Penjelasan dan Strategi Terkait Moderasi Beragama
Diawali Babun Suharto selaku Rektor IAIN Jember, mengemukakan ukuran perguruan tinggi tidak terlepas dari mahasiswa dan seluruh civitas akademik akan cenderung lebih terbuka dan toleran terhadap upaya pemahaman agama yang berbeda. Kondisi ini pada gilirannya mendorong lahirnya pendekatan non-mazhabi dalam kajian Islam di Indonesia yang didasarkan pada pendekatan interfertatif, sensitivities, social sensitivities dan inter-group sensitivitie.

Yang menurut pemahaman peresensi adalah bagaimana kemudian Rektor IAIN Jember berupaya mengatakan bahwa gagasan para perguruan tinggi hari ini sudah mengalami perubahan dan peningkatan sejalan dengan kajian, tulisan serta penerapan yang diambil di setiap perguruan tinggi, dan tanpa mengurangi esesnsi dari kebudayaan yang dimiliki setiap daerah, dalam hal ini setiap perguruan tinggi Islam negeri.

Kedua, Penguatan Moderasi Islam Indonesia dan Peran PTKIN, oleh TGS. Sidurrahman. Rektor UIN Sumatera Utara. Mengemukakan dalam tulisannya, bagaimana kemudian moderasi beragama di identifikasi dan dilaksanakan didunia kampus PTKIN yaitu dengan mengelompokan para alumni pesantren dan SMU, selanjtunya dengan membagi latar belakang pesantren yang nuansanya sejalan dengan PTKIN. Terus langkah untuk alumni SMU dengan membaginya dari yang aktif kekiatan ekstrakulikuler dan non ektrakulikuler. Mengacu pada pandangan bahwa non ektrakulikuler ini masih mudah untuk diajarkan terkait paham Islam mderat, sedangkan yang aktif dengan kegiatan ekstrakulikuler semisal Osis, dan lain perlunya narasi tandingan agar mengimbangi pemahaman mereka didalam PTKIN. Sebagai puncak dari gambaran presensi terkait tulisan ini ditemukannya pengklsifikasian, atau kelompok di dalam menyikapi mahasiswa khususnya alumni  SMU didalam menerima keilmuan di PTKIN. Sebagai akhir ditemukannya juga pemaknaan terkait LDK yang masih mampu menerima nilai-nilai dari moderasi beragama.

Bagian ketiga penulis berupaya memberikan pandangan dan langkah strategis yang dilakukan oleh UIN SUSKA Riau, dalam hal ini di jelakan oleh rektor K.H Akhmad Mujahidin “moderasi tidak sebatas dalam beragama, namun lebih jauh secara khusus dijelaskan berkaitan tentang kurikulum didalam menangkal faham-faham radikalisme dan terorisme, yang diaplikasikan pada perguruan tinggi Islam, salah satunya adalah Universitas Islam Negeri Syarif Kasim Riau. Poin selanjutnya adalah seluruh jajaran baik Pimpinan, Dosen, Staf, dan Organisasi Kemahasiswaan di dalam melakukan keilmuan apapun tetap mengutamakan ahlak sebagai bagian yang perlu dan diutamakan dalam bersikap. Untuk bagian terakhir yang mampu difahamai oleh presensi terkait tulisan yang di paparkan oleh rektor UIN SUSKA Riau adalah berupaya meyakinkan kepada pembaca terkait strategi seluruh masyarakat di lingkungan kampus didalam merespon terkait moderasi beragama adalah yang utama, hal ini sesuai dengan penjagaan agama dengan ke-Islaman serta ke-Inonesiaan.

Keempat, dengan judul pandangan Moderasi Karakter Asli  Agama Islam, yang di paparkan oleh Mahmud selaku Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Secara jelas dalam narasinya bahwa moderasi beragama, bangsa , bernegara adalah identitas agama Islam, dengan penguatan sumber Al-Qur’an yang dalam bahasanya terciptanya communal harmony, yakni masyarakat yang membangun cinta terhadap sesamanya. Bukti selanjutnya penulis menegaskan dengan contoh Nabi Muhammad dalam fase penyebaran agama Islam mengedepankan budaya harmonis dibuktikan dengan perah yang di lakukan Muhammad pada fase perang Uhud saja. Belum lagi bukti selanjutnya adalah kegiatan saat menikahkan Fatima,  nabi menggunakan jasa orang Yahudi. Sebagai bentuk bagaimana jalan dan kebersamaan, penghormatan sesame pemeluk  agama baian dari moderasi beragama itu sendiri.

Pemaparan bagian kelima, Samsul Nizar Ketua STAIN Bengkalis-Riau, yang juga mengangkat prespekti moderasi beragama dan kekhalifaan secara global. Didalam beberapa stategi yang terdiri dari lima bagian, presensi mengkhususkan mata bijak yang di tuliskan “memang tak ada manusia yang sempurna, namun jadilah manusia untuk saling menyempurnakan, di sisi lain menjadi benar itu baik, namun merasa paling benar justru perilaku yang tidak baik”. Dimana puncak dari tulisan tersebut mengajarkan esensi pengetahuan dan manusia modern didalam dunia tidak terlepas dari hasil akhir dari manusia didalam berpradaban tinggi atau sebaliknya justru menjadikan manusia terletak pada posisi yang paling hina.

Keenam, datang dari penjelasan tulisan H. Muhibbin, Rektor UIN Walisongo Semarang, menurut beliau dalam judul Hakekat Moderasi Beragama, dengan semakin banyaknya teori, karya bahkan hukum terkait moderasi beragama, maka gerakan radikal semakin mampu uuntuk kita tekan, diawali dengan Islam moderat dan ekstrim, serta keteladanan didalam mengplikasikan moderasi beragama. Kalopun dimasyarakat terjadi sebaliknya, artinya semakin banyaknya kegiatan radikalisme berarti ada yang salah dalam masyarakat kita. Karenanya sudah menjadi keawajiban buat seluruh masyarakat Indonesia mengedepankan Islam moderat dan umumnya masyarakat muslim yang ada di dunia.

Ketujuh, Idrus Al Hamid Rektor IAIN Fattahul Muluk Papua, yang didalam tulisannya menyatakan “tulisan ini merupakan refleksi akademik Cendekiyah Poros Timur Nusantara. Rekontruksi Moderasi Beragama.” Dimana penulis membaginya kedalam Derivasi Class: sebuah ajakan untuk mengikuti anjuran tokoh panutan yang dianggap kudus. Yang wajib meskipun harus berbenturan dengan lainnya. Inilah yang kemudian menjadi peluang ideology radikalisme dan terorisme memainkan eranannya. Sehingga moderasi beragama adalah antisipasi didalam merekontruksi perkembangan zaman atau Era Millineal. Selanjutnya Derivasi Perubahan Class yaitu sebuak produk nuansa baru kelas social didalam masyarakat. Dengan contoh beberapa simbol-simbol keagamaan, politisi, elit, tokoh masyarakat, yang kemudian menghasilkan ketengangan antara yang hak dan batil,  sehingga menghasilkan moderasi beragama dalam akulturasi dan semangat baru didalam menata masyarakat, agama, serta dalam dunia kampus moderasi sebagai bentuk dari langkah-langkah berupa ajakan polariasi berupa seminar, simposium, dan kegiatan-kegiatan baik untuk Indonesia yang kita cintai ini.

Kedelapan, pandangan oleh H. Ibrahim Siregar, Rektor IAIN Padangsidimpuan. Mengangkat tulisan dalam buku terkait lokal masyarakat dan tradisi Batak dengan kaitannya dalam moderasi beragama. Diawali dengan dialektika antara slam dan budaya lokal yang kemudian menjadikan religi dan ritual sebagai kontestasi medan kajian dan paradaigma baru. Di contohkan misalnya tradisi panaek bungkulan, sebuah tradisi jauh sebelum Islam masuk ketanah Batak , tradisi leluhur ini telah di kenal oleh Batak Angkola. Sehingga dalam konsep moderasi beragama dalam pemahaman peresensi di tulisan ini, berupayanya penulis menghadirkan moderasi agama  sebagai sebuah jalan didalam menjelaskan tradisi dan agama Islam Batak adala satu kesatuan, sebuah arus timbal balik. Karena tradisi erta kaitannya dengan keyakinan, pengetahuan, pengalaman (realitas) dan kondisi spritualitas sebagai unsur-unsur religiuitas. Sehingga penggabungan keduanya adalah bagian dari peradaban baru diatas pondasi moderasi beragama.

Kesembilan, Epistomologi Sosial Keberagamaan Masyarakat: Studi Genealogi Islam Jawa oleh H. Mudzakir, Rektor IAIN Kudus, yang mendiskripsikan bagaimana Islam dan Indonesia tidak terlepas dari kekuatan dan pengaruh Jawa. Penjelasan terebut mampu kita dalami saat membaca tulisan penulis didalam perkembangan Islam yang awal mulanya masuk di Nusantara kemudian melalui beberapa tipikasi atau pengikut, diantaranya pengikut Islam Modernis, kemudian Islam Tradisionalis, serta Islam Kejawen. Selanjutnya genealogi inilah yang kemudian membentuk Islam Jawa yang sampai hari ini mengakar dan kuat dalam esensi bagian dalam moderasi beragama. Bagi presensi memandang moderasi beragama ketika dikaitkan tentang jaman VOC hingga kerajan Islam Mataram adalah bukti dan kekuatan yang yang masih kuat hingga kini, sebagai contoh kitab-kitab wirid terkait tentang filsafat ketuhanan Raden Ronggowarsito, dalam serat WIrid Hidayat Jati serta pengaruh terhadap spritualitas Islam Kejawen adalah; tewrminologi Suwung, sebelum ada sesuatu. Yang dalam penjeasannya diartikan yang pertama-tama adalah Tuhan Allah, tidak ada Tuhan melainkan Allah. Yang jelas sangat erat kaitannya tentanh pemahamann Tuhan dalam kalangan Islam hari ini.

Kesepuluh, Syarif, Rektor IAIN Pontianak. Terkait dengan konsep tulisan yang ditawarkan menyikapi moderasi beragama, di awali kata jihad dengan makna perang di maksudkan sebagai sangat tidak tepat. Mengacu dari Al-Quran dalam pemaknaannya sangat luas dalam banyak aspek kehidupan lintas ruang dan waktu. Perang dalam satu kesatuhan jihad adalah benar. Akan tetapi Qarinatnya yang dimaksudkan adalah memahami jihad perang bukanlah semata-mata sebagai sebuah kehancuran dan kezaliman. Sehingga terkait moderasi beragama yang ditemukan dalam tulisan oleh peresensi adalah bagaimana konsep jihad itu dimaknai oleh setiap ummat, terkhusus Islam dalam kehidupan sehari-hari mampu mangamalkan ajaran Islam dan memahami ibadah keapda Allah tanpa menggunakan kezaliman, makar, penghinaan, dan sebagainya yang mampu memecah beah ummat.


Islam dan Multikulturalusme, oleh Rektor IAIN Bone adalah bagian kesebelas dalam tulisan dalam buku ini. Penulis menjelaskan bahwa Islam dan bentuk-bentuk yang dilakukan sebagian kecil rakyat Indonesia, ironi itu dibangun dari bentuk pembela Islam sering berteriak “Allahu Akbar”, berpakaian tertentu, beratribut  yang melambangkan kesucian Islam. Hingga pada pelaksanaan pembubaran paksa yang pada esensinya bertentangan dengan ajaran Islam. Dari pengatar tersebut selanjutnya dijelaskan bahwa, ada pemaknaan dan perlunya pemahaman terkait multikulturalisme, yang secara asala kata sudah menjadi bagian dari Indonesia, ber-aneka ragam, banyak, warna-warni, bhineka, dan kata-kata yang bermakna banyak atau jamak. Sedang kultural yang berarti kultur, tradisi, kebiasaaan, keyakinan, dan budaya. Kemudian tidak lupa di sandingkannya pemahaman Islam didalam menjembatani multikulturalisme. Pada akhirnya yang mampu di gambarkan oleh peresensi terhadap tulisan ini. Dalam kaidah moderasi beragama adalah benar dalam pemahaman terkait penghormatan tidak hanya sebatas kepada hak dan kewajiban sesuai esensi dari Negara. Akan tetapi lebih dara pada itu, kebudayaan, tradisi, adat istiadat, kebiasaan diperlukan apresiasi, perhatian dan moderasi beragama adalah bagian nawacita tersebut.

Terkait untuk tulisan keduabelas hingga keduapuluh, yang masing-masing dipaparkan oleh Hasbullah Toisuta (Rektor IAIN Ambon), H. Mudofir Abdullah (Rektor IAIN Surakarta), Mujiburrahman (Rektor UIN Antasari Banjarmasin), H. Segaf S. Pettalongi (Rektor IAIN Palu), Muhammad Ilyasin (Rektor IAIN Samarinda), Moh. Mukri (Rektor UIN Raden Intan Lampung), Khairil Anwar (Rektor IAIN Palangkaraya), KH. Fauzul Iman (Rektor UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten), Mazdar Hilmy (Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya). Masing-masing rektor berupaya menggambarkan moderasi beragama pada prespektif, keilmuan, budaya kearifan lokal, serta tokoh dan penguatan pancasila. Sejatinya semua berpesan betapa pentingnya memahami perbedaan sejak dini, utamanya dalam konteks bersosialisasi baik di lingkungan masyarakat, tempat kerja, agama, hingga Negara. Terkhusus kepada PTKIN sebagai bagian generasi pelanjut bangsa, calon muballigh, calon sekaligus penjaga kestabilan dunia. Perlu di perkenalkan moderasi beragama sebagai bagian didalam menagkal faham radikalisme dan terorisme yang berupaya memudarkan nilai-nilai Pancasila yang gerus oleh ideologi luar.

Sehingga mengutip tulisan akhir dari Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya, rumusan moderasi Beragama harus mampu mencakup seluruh aspek kehidupan ummat, mulai dari hal yang bersifat remeh-temeh seperti tata cara berpakaian, panduan berkomunikasi dan berinteraksi, hingga menyangkut hal-hal makro seperti panduan berbangsa dan bernegara. Masyarakat juga perlu dipahamkan bahwa profil kesalehan sebagaimana tertulis secara harfiyah dalam kitab suci tidak serta merta harus direplikasi dalam konteks kita sekarang ini karena belum tentu relefan dengan kebutuhan dan tantangan zaman. Sebaliknya segala yang tidak ada dalam kitab suci secara harfiyah di identikan tidak baik sesuai ajaran Islam.

Tanggapan Presensi Secara Umum
Buku ini berlimpah dengan hikayat-hikayat terkait moderasi  beragama yang secara logis memberikan alternatife didalam memahami perbedaan, keanekaragaman, tradisi, kebudayaan, kearifan lokal, agama, hingga Negara dan Bangsa terkait Islam dan Pancasila. Dikemas dalam memahami setiap kekhas-an setiap prespektif, yang tertuang didalam tulisan-tulisan Rektor Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri PTKIN.

Buku ini memberikan nafas baru, detak peradaban yang mengabarkan bagaimana memerangi isu-isu radikalisme, terorisme, intoleran serta bentuk-bentuk yang secara tafsiran agama merusak kualitas dan nilai dari agama itu sendiri. Sesuai dengan judulnya moderasi beragama: dari Indonesia untuk dunia, diharapkan buku ini mampu dibaca oleh dunia, agar kiranya semangat dan cita-cita luhur mampu tersampaiakan, terlebih kepada masyarakat Indonesia sendiri mampu mengaktualisasikan, membagi, membimbing, hingga menjadikan sebuah kegiatan didalam menyebarkan tujuan dari buku ini ditulis.

Saya kira buku ini mampu tersaji dengan baik dan juga akan berhasil jika setiap individu yang membacanya memulainya dengan paling tidak mengucap-ucapkan, menginformasikan, hingga melaksanakannya dalam setiap aplikasi sehari-hari dengan penuh kejujuran, tanggung jawab, serta mengutamakan moralitas dan adab didalam melaksanakan aktifitas membumikan moderasi beragama.

     Terkait harapan peresensi pada buku ini kedepan diterbitkan tidak hanya pada lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) meskipun cakupan dan wilayahnya berbeda namun se-efektif menghasilkan prespektif dari perguruan tinggi lain yang bisa jadi menambah khasanah metodologi didalam menggambarkan konsep moderasi beragama, terkhusus pendekatan lain diluar Perguruan tinggi non Islam yang sebisanya menjadi kolaborasi didalam menjaga Indonesia. Serta menghasilkan karya berupa buku yang menarik untuk kita baca dan diskusikan serta menjadi referensi didalam mengikuti perkembangan zaman namun tidak mengurangi esensi dari ke Indonesia-an
 

Beragama Di Indonesia

Judul                           : “Moderasi Beragama: Dari Indonesia Untuk Dunia” Penulis                        : Babun Suharto, et all...